MATAKIN - Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan agama Khonghucu
Kementerian Agama RI Dr. H. Wawan Djunaedi M.A tegaskan kembali pentingnya
moderasi dan toleransi beragama. Hal tersebut dia sampaikan dalam perayaan
Imlek Virtual 2572 Kongzili tingkat Provinsi Banten pada Minggu (21/2) malam,
yang mengangkat tema "Keharmonian Kultur Budaya Bersinergi Membangkitkan
Persaudaraan Sejati".
"Moderasi beragama itu program nasional yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Agama," ungkap Wawan.
Menurut dia, moderasi beragama menjadi spirit dari berbagai program Kemenag yang dicanangkan dalam program prioritas nasional.
Wawan mencontohkan seperti yang terjadi di Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD), di mana terdapat tiga altar yang berbeda, yakni altar untuk agama Khonghucu, Buddha, dan Tao. Irisan tersebut menurut Wawan, menjadi sebuah lambang kerukunan umat beragama yang sangat luar biasa di Indonesia.
"Betapa tidak, tiga keyakinan, tiga iman, berada dalam satu atap. Yaitu rumah ibadah Tri Dharma. Mereka saling bahu membahu, saling melakukan keyakinannya masing-masing, di altarnya masing-masing, tanpa mengganggu satu sama lain dan dengan memberikan kenyamanan satu sama lain," lanjut Wawan.
Wawan merasa, ini merupakan wujud dari toleransi dan moderasi beragama yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, kata dia, kondisi semacam ini harus bisa dipelihara sampai kapanpun. "Sampai anak cucu kita nanti bahwa toleransi beragama berawal dari ritual-ritual semacam ini, di mana kita saling mengembangkan sikap toleransi dan moderasi beragama," lanjut dia.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat MATAKIN Xs. Budi Santoso Tanuwibowo menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Wawan. Menurut dia, kita harus bisa menjalankan agama secara moderat. "Apapun agama atau kepercayaan yang kita anut, jadilah umat yang moderat," Tegas dia.
Pihaknya menambahkan, terlepas dari semua agama dan keyakinan yang kita miliki, kita bukan saja satu bangsa tetapi juga satu kemanusiaan. "Maka, meskipun sekarang kita sedang dipaksa untuk hidup lebih sederhana oleh covid-19, tapi mungkin ke depan saatnya kita untuk kembali kepada jati diri perayaan keagamaan yang memang harusnya sederhana," lanjut dia.
Mudah-mudahan, tambah pria itu, Indonesia yang menjadi negeri bagi semua agama, negeri bagi semua keyakinan, tidak lagi mengalami hal-hal seperti yang terjadi di masa Orde Baru. "Tidak ada lagi anak-anak bangsa, sebesar apapun atau sekecil apapun yang diasingkan oleh negara. Negeri ini bisa tumbuh karena ada kita semua, tanpa terkecuali," tegas Xs. Budi.
Turut hadir dalam forum ini, dewan pakar perhimpunan INTI Ir. Azmi Abu Bakar, Direktur Urusan dan Pendidikan agama Buddha Kemenag RI Dr. Supriyadi Adinata, M.Pd, Ketua MATAKIN Provinsi Banten, Ketua PHDI Provinsi Banten, Ketua Umum Atthasilani Theravada Indonesia, dan beberapa tokoh keagamaan lainnya.
Terakhir Xs. Budi berpesan, supaya di saat berbicara dalam forum umum, kita menghilangkan sekat berupa etnisitas, agama, keyakinan, maupun yang lain. "Kita semua adalah warga bangsa Indonesia, warga kemanusiaan. Itu yang saya impikan dan saya harapkan, sehingga kita tidak lagi disibukkan untuk meninggikan atau merendahkan satu sama lain," pungkasnya.
Vinanda Febriani
Mahasiswi Studi Agama-agama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta