Jakarta - Ketua Umum Generasi Muda
Konghucu Indonesia (GEMAKU) menjelaskan menariknya sejarah agama Khonghucu di
Indonesia. Menurutnya, ini sangat berbeda dengan Khonghucu di Tiongkok. Hal
tersebut dia ungkapkan dalam Webinar Imlek bersama HMPS SAA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang bertema "Menghormati Keberagaman Budaya
Agama-agama di Indonesia" pada Rabu siang (17/2) lalu.
"Khonghucu di Indonesia punya sejarah yang unik. Di Tiongkok mereka tidak diakui sebagai agama, sementara di Indonesia mereka direpresentasikan sebagai sebuah religion. Ini yang menarik," ungkap Kristan.
Menurut pria alumni S2 Comparative Religion UIN Jakarta ini, Indonesia punya sejarah unik sendiri terkait keberadaan agama Khonghucu. Di mana, ungkapnya, agama Khonghucu sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad lalu. Dibuktikan dengan berdirinya lembaga sosial kemasyarakatan Khonghucu yang disebut Tiong Hoa Hwee Koan (Zhonghua Huiguan) pada 23 April tahun 1900.
"Khonghucu di Indonesia dimulai ketika di tahun 1900 berdiri organisasi Khonghucu. Ada historinya yang panjang tentang bagaimana Khonghucu punya kontribusi perlawanan terhadap kolonial Belanda, dalam hal ini VOC. Maka ketika Soekarno pada tahun 1965 bikin peraturan agar bagaimana agama-agama ini bisa diakomodir, dia buat UU PNPS tahun 1965, yang mana di situ ada Konghucu di sebut."
Namun, lanjutnya, pada masa pemerintahan Soeharto, Ia menerbitkan Inpres nomor 14 tahun 1967 yang melarang segala perayaan adat-istiadat maupun kepercayaan Cina di ruang-ruang publik. Sehingga, segala yang berkaitan dengan Cina, hanya sebatas di lingkup keluarga. Hal ini kemudian berakhir pada pasca reformasi, yakni pada masa pemerintahan Gus Dur di mana beliau menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat Istiadat Cina. Sejak saat itu, baik etnis Tionghoa maupun umat Khonghucu bebas mengekspresikan budaya dan kepercayaannya di ruang-ruang publik.
Imlek di Indonesia
Tahun baru Imlek menurut Kristan,
dalam konteks Indonesia sebetulnya merupakan akronim dari Im Yang lek yang berasal dari bahasa Hokkian, yang berarti
penanggalan lunisolar. "Tetapi orang-orang peranakan di Indonesia
menyingkat itu menjadi Imlek" kata Kristan.
Lanjut pria itu, dalam tradisi Indonesia, sejak tahun 1900, penanggalan Tahun Baru Imlek dihitung mulai dari tahun lahir Konfusius atau Khongzi. "Makanya kita sering sebut Kongzi Li. Li itu artinya penanggalan" lanjutnya.
Uniknya, menurut Kristan, angka 2572 hanya ditemukan di Indonesia. Sedangkan negara-negara lain tidak menggunakannya. "Tahun 2021 itu kan di kalender Gregorian. Masa iya Tahun Baru Imlek menggunakan penanggalan Gregorian atau bahkan Hijriyah, misalnya" lanjut Kristan.
Makna Tahun Baru Imlek bagi umat Khonghucu, menurutnya sangat religius karena mempunyai dimensi yang sangat berarti. Bagi Khonghucu, Tahun Baru menjadi semangat memperbarui diri.
Imlek
dan Narasi yang Beredar
Pihaknya menyayangkan terhadap
narasi-narasi yang hari ini berkembang di tengah masyarakat bahwa Imlek tidak
memiliki nilai religiusitas.
"Narasi-narasi yang hari ini dikembangkan itu menarik. Dari zaman Gus Dur, Megawati, hingga SBY, mereka selalu hadir di Imleknas Khonghucu atau MATAKIN sebagai Presiden. Karena di Indonesia itu Imlek hari libur, ya, sebagai hari libur agama, bukan etnis. Artinya, Imlek itu dijadikan hari libur, ya, karena dipulihkannya eksistensi agama Khonghucu," lanjut dia.
Menurut Rohaniwan MATAKIN ini, pendegradasian terhadap sejarah menjadi tantangan untuk kita, supaya mencatat sejarah dengan jujur dan sportif. Hari ini, lanjutnya, Khonghucu secara ekonomi berbeda dengan mereka yang non-Khonghucu. Bahkan, Khonghucu tidak memiliki representasi di pemerintahan.
Pihaknya juga menyebut, sekarang ini dalam berdemokrasi, hitungannya bukan lagi kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi soal jumlah. "Ini kalau saya mau otokritik, ya" lanjut dia.
Kristan berpesan kepada masyarakat, jika hendak belajar tentang agama Khonghucu, belajarlah di Indonesia. Karena Indonesia ini, ungkap dia, merupakan surganya Khonghucu. "Inilah menariknya Indonesia. Karena hanya di Indonesia lah Khonghucu ini bisa tumbuh subur," lanjut dia.
Terakhir, pihaknya menyampaikan, hari ini tantangan paling nyata adalah streotipisme, prejudice, serta pola pikir yang belum terbuka. "Masih banyak sekali itu," lanjutnya.
Sehingga, menurut pria yang sekaligus alumni beasiswa King Abdullah Bin Abdulaziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) ini, tantangan kita, juga tentang mudahnya diadu domba lantaran tidak adanya perjumpaan antar sesama anak bangsa dengan beragam latar belakang baik suku, budaya, bahasa, hingga agama.
"Hari ini tantangan kita adalah mudahnya diadu domba dan saling ribut, karena tidak ada perjumpaan. Indonesia saat ini berapapun SDM-nya, kalau dibikin degredasi, proxy war, oleh kekuatan yang berasal dari luar, semuanya selesai. Tetapi Indonesia, justru tidak bisa dihancurkan karena multikulturalismenya," tandasnya.
Penulis :
Vinanda
Febriani
Mahasiswi
Studi Agama-agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta