Xs. Thjie Tjay Ing Pejuang Khonghucu

*Xs. Tjie Tjay Ing Pejuang Khonghucu*

Gerakannya tak terlihat meletup-letup. Perlahan namun pasti. Padahal, Tjhie Tjay Ing tegas menentang rezim Orde Baru yang mem-blacklist agama, kepercayaan dan adat istiadat China termasuk agama Konghucu di Indonesia. Haksu Tjay Ing ? begitu panggilan akrabnya? membakar semangat umat Konghucu dari dalam. Ia terus memimpin kebaktian maupun kajian keagamaan.

Tjhie Tjay Ing pun konsisten menerbitkan majalah untuk kalangan internal khonghucu yang berisi tulisan pergumulan pemikirannya dengan sejumlah haksu lainnya sejak tahun 1956. Intinya, agar iman Confusian, umat Confusius atau yang dalam agama Konghucu disebut Nabi Khongcu tak goyah walaupun dibelenggu pemerintah. Bahkan lebih dari itu, Tjhie Tjay Ing dengan sabar dan telaten mengenalkan khazanah budaya Konghucu kepada khalayak. Memberikan pemahaman bahwa Konghucu juga layak eksis dan mendapatkan hak yang sama untuk berkembang seperti halnya agama lain di Bumi Pertiwi ini.

Tak berlebihan kiranya jika dengan segala perjuangannya itu, Tjhie Tjay Ing lalu disebut sebagai pejuang eksistensi Konghucu di Indonesia. Aktivitasnya dalam forum-forum sarasehan, diskusi lintas agama maupun budaya juga menjadikannya mendapat julukan tokoh lintas agama dan budayawan. Namun sebenarnya, semangat pendobrak dan kecintaan Tjhie Tjay Ing pada ajaran Nabi Khongcu itu sudah berkecambah sejak belia. Sejak kecil saya memang sudah bertekad mendalami agama Konghucu, ujar kakek empat cucu yang usianya beranjak 75 tahun ini saat ditemui Espos di ruang kerjanya yang terletak di belakang Tempat Ibadah Agama Konghucu, Litang, Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 atau dulunya kondang disebut Jl Jagalan 15 Solo, awal bulan lalu.

Beragam kitab-kitab setebal kamus bertumpuk di mejanya. Sementara di sebuah lemari kayu yang usang tapi kokoh, puluhan kitab klasik berusia ratusan tahun, berbahasa Hokian yang semua kertasnya telah menguning, tampak memenuhi lemari.

"Penggemar Wayang"

Kecintaannya kepada ajaran Nabi Khongcu seperti halnya ketakjuban pada dunia wayang yang menjadi tontonan paling spektakuler di masa kecilnya. Sampai-sampai karena tak pernah melewatkan pertunjukan wayang, baik wayang kulit, krucil maupun po te hi, semalam suntuk, nilai rapor Tjay Ing kecil di bangku Kelas III SD, dua kali merona.

Namun menurut Tjay Ing, untuk kali kedua tak naik kelas, ia nekat masuk ke Kelas IV tanpa menggubris teguran gurunya. Dua kali pukulan dari nilai rapornya yang menyala ternyata ampuh melentingkan semangat belajarnya. Sehingga sampai di bangku SMP, Tjay Ing berhasil menempuh jenjang akademisnya tepat waktu. Lalu setamat SMP tahun 1954, Tjay Ing hijrah melanjutkan sekolah di Sekolah Guru Agama (SGA) Kristen, Solo. Sesuai dengan tekad Tjay Ing kecil, sejak awal masuk SGA itu pula ia aktif mengikuti kebaktian di Litang dan bergabung dengan orang-orang yang berorientasi pada Konghucu dalam perkumpulan Khong Kauw Hwe Solo yang sudah berdiri sejak 1918. Lalu pada 13 Maret 1955, bersama dengan sejumlah pemuda, Tjay Ing mendirikan Pemoeda Agama Konghoetjoe Indonesia (Pakin). Awal berdiri saya menjadi sekretaris, kenang lelaki yang juga tertarik dengan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Anantatour ini. Setahun kemudian, berbagai Khong Kauw Hwe di seluruh Indonesia berkumpul dan membentuk Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI).

Lalu setelah berganti-ganti nama, pada 1967 tepatnya, pada musyawarah nasional ke-4 yang berlangsung di Solo, *PKCHI* diubah namanya menjadi Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Nama tersebut masih langgeng sampai sekarang. Sejak lembaga itu tampil dengan nama Matakin, Tjay Ing didaulat menjadi ketua dewan kerohanian, sampai kini. Meskipun setamat SGA tahun 1957, ia sempat menjadi Bunsu atau guru agama di SD Tripusaka dan setahun kemudian menjadi kepala sekolah sampai 1960.

*Masa pencekalan*

Awal berubahnya menjadi Matakin itu jua yang menjadi awal pencekalan terhadap agama Konghucu, yakni dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China.

Pencekalan dari pemerintah terus menghujam bertubi-tubi. Bahkan, pembubuhan agama Konghucu di Kartu Tanda Penduduk (KTP) tak diperbolehkan. Tak heran, sebagian confucian lantas pindah agama maupun mencantumkan agama lain di KTP mereka demi keamanan. Segala kegiatan umat Khonghucu tak mendapat ijin dari pemerintah. Tetapi saya dulu nekat membubuhkan agama Konghucu di KTP dengan diketik sendiri, ujar penggemar sayur rebung tunas bambu ini. Kebaktian dan penataran yang dipimpin Tjay Ing baik di Solo maupun berbagai daerah Pulau Jawa juga tetap dijalankan.

Bahkan pada tahun 1980-an, Tjay Ing juga melakukan perjalanan spiritualnya sampai ke Hongkong dan Taiwan. Di dewan kerohanian itu pula, dengan gerakan yang halus Tjay Ing tetap menggeber lewat tulisan-tulisan di majalah bulanan internal Konghucu yang dipimpinnya sejak 1956 dengan label Suara Kung Chiao yang terbitan pertamanya disebarkan di Malang. Di tahun 1965, nama terbitan berkala itu berubah nama menjadi Suara Agama Khonghucu. Tak berselang lama, namanya diubah lagi menjadi Majalah Genta Buana dan terakhir menjadi Suara Genta Suci Konfucian (SGSK) sampai kini. Selain itu juga, Konghucu menurut Tjay Ing juga eksis lewat lewat penerbitan media, seperti kalender dan buku pegangan pelajaran agama Konghucu dari SMP sampai SMA. Tjay Ing masih ingat, di tahun 1975, hanya karena membubuhkan foto sambutan pejabat dalam kalender itu, ia pun sempat mendapat pencekalan.

Termasuk karena dianggap mencatut sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Syarif Thayib, dalam kata pengantar buku pegangan pelajaran itu. Buntutnya, Ketua Matakin saat itu, *Suryohutomo* harus menjalani hukuman penjara selama enam bulan. Pembelaan sama sekali tak digubris, kenangnya masygul. Barulah pada pemerintahan Presiden KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur, saat Inpres No 14/1967 dicabut, umat Nabi Khongcu dapat bernafas lega. Namun, menurut Tjay Ing akibat tekanan dan larangan yang sudah sekian lama, menjadikan nuansa diskriminasi tetap belum dapat pulih sepenuhnya. Ia mencontohkan, penggantian agama pada KTP misalnya masih ada yang harus menempuh birokrasi berbelit. Tjay Ing berharap dukungan pemerintah bisa terus mengalir.

Demikian pula dengan umat Konghucu sendiri. Sudah seharusnyalah, kata Tjay Ing mencintai dan konsisten terhadap agama maupun organisasi keagamaannya. ?Tak lupa selalu menebarkan kerukunan dan kedamaian di mana pun berada,? tandasnya.

Biodata Tjhie Tjay Ing

Nama : Tjhie Tjay Ing

Tempat, tanggal lahir : Blora, 26 Maret 1935

Alamat : Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 d/h Jagalan 15 Solo

Istri : Tjiong Giok Hwa

Anak : l Tjie Sian Hwie (Willy Pramudita Djiwatman) l Tjie Sien Gie (Mursid Djiwatman) Riwayat

Pendidikan: l SD Tionghoa, Blora l SMP Kristen, Blora l Sekolah Guru Agama (SGA) Kristen, Solo Pekerjaan: l Guru Agama SD Tripusaka 1957-1958 l Kepala Sekolah SD Tripusaka 1958-1960 l Guru Agama SD Tripusaka 1960-1968 l Dosen Agama Khonghucu 1968-2004 Organisasi: l Ketua Dewan Kerohanian Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) l Ketua Dewan Kerohanian Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Solo Penghargaan: l Penghargaan Walikota Solo pada Imlek 2009 atas konsistensinya dalam bidang kebudayaan.

*Tiada hari tanpa menerjemahkan kitab*

Rambut boleh saja telah memutih semua. Derap langkah pun mulai bertatih-tatih. Tetapi semangat berkarya Thjie Tjay Ing terus menggelora tak lekang termakan zaman. Di antara 10 haksu yang sekarang ada di Indonesia, tiga haksu di Solo, satu di Tegal, empat di Jakarta, satu di Surabaya dan satu di Manado, Tjay Ing terbilang paling produktif.

Terutama dalam menerjemahkan kitab-kitab Konghucu berbahasa Hokian maupun bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Baik itu kitab yang terdiri dari Kitab Suci Pokok atau Kitab Suci Empat yang disebut Su Si, maupun kitab suci yang mendasari atau Kitab Suci Lima yang disebut Ngo King. Setiap hari, seayat demi seayat diterjemahkan Tjay Ing, tanpa kenal lelah. Kitab Su Si yang terdiri dari Kitab Ajaran Besar (Thai Hak), Kitab Tengah Sempurna (Tiong Yong), Kitab Sabda Suci (Lun Gi) dan Kitab Bingcu (Mencuis), semuanya telah rampung diterjemahkan.

Sementara untuk Kitab Ngo King yang terdiri dari Kitab Sajak (Si King), Kitab Dokumentasi Sejarah suci (Su King), Kitab Perubahan dan Kejadian Alam Beserta Segala Isinya (Ya King), Kitab Kesusilaan dan Peribadatan (Lee King) serta Kitab Catatan Sejarah Chun Chiu (Chun Chiu King) tinggal satu yang belum diterjemahkan. Tinggal Chun Chiu King yang belum. Semoga bisa saya selesaikan secepatnya, ujar Tjay Ing sembari menunjukkan Kitab Su Si hasil terjemahannya setebal kurang lebih tujuh sentimeter itu.

Pahami makna Menurut Tjay Ing, menerjemahkan kitab tak sekadar mengubah bahasa dari bahasa asal menjadi bahasa Indonesia saja, melainkan juga memaknai dan menjelaskan agar si pembaca dapat lebih mafhum dalam mencerna dan memahami isinya. Dalam menerjemahkan kitab-kitab itu, Tjay Ing juga berkomitmen mengedepankan objektivitas. Pasalnya, tak jarang subjektivitas penerjemah pada sejumlah kitab dinilainya masih terasa begitu kental. Terkait penerjemahan itu pula, lanjut Tjay Ing, yang kadang membuat hatinya risau.

Sebab, masih sedikit generasi muda Konghucu yang betul-betul tertarik untuk menguasai bahasa Mandarin maupun Hokian, apalagi sekaligus menerjemahkan. Padahal, tuturnya, dari pemahaman atas kitab-kitab itulah generasi penerus mestinya bisa menginternalisasi ajaran luhur Nabi Kongcu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, didukung dengan sarana teknologi yang kian maju, sejumlah tulisan pembangkit semangat dari Tjay Ing pun memenuhi website Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin). Dengan harapan dapat melecutkan gairah para confusian muda. Rupanya media-media masa kini juga cukup efektif. Lomba kotbah bagi para pemuda Konghucu beberapa waktu lalu cukup disambut dengan antusias, ujarnya sambil tersimpul senyum.

*Gurunya para haksu dan sumber agama Konghucu di Indonesia*

Di Indonesia, jabatan keagamaan Konghucu ada tiga tingkatan. Tingkat paling bawah adalah kausing atau penebar agama. Bisa dianalogikan semacam santri dalam Islam. Lalu tingkat kedua adalah bunsu atau guru agama. Sementara yang paling atas yakni haksu atau pendeta. Menurut Oesman Arif, haksu yang juga dosen pengampu mata kuliah Bahasa Mandarin di Universitas Sebelas Maret (UNS) dan pengampu mata kuliah Filsafat di UGM ini, Haksu Thjie Tjay Ing lebih dari sekadar haksu.

Bisa dibilang, Haksu Thjie Tjay Ing adalah gurunya haksu dan sumber agama Konghucu di Indonesia, ujarnya saat ditemui Espos di rumahnya, Jl Kartika, Ngoresan, Solo, Rabu (3/1). Menurut Oesman, hal itu terlihat dari totalitas luar biasa pengabdian dan konsistensi Haksu Tjay Ing dalam pengembangan Konghucu. Haksu Tjay Ing juga sepenuh hati menjalankan ajaran Nabi Khongcu itu. Dengan telaten dan cermat, lanjut Oesman, Haksu Tjay Ing menerjemahkan semua kitab-kitab Konghucu ke bahasa Indonesia. Lalu menjabarkan maknanya agar lebih mudah dipahami sehingga hasil terjemahannya memang mencerminkan apa yang terkandung sebenar-benarnya dalam kitab.

Tak lupa, Haksu Tjay Ing terus produktif menulis artikel baik mengupas soal kitab maupun dihubungkan dengan problematika masa kini. Tanpa kenal menyerah, bahkan kondisi sakit pun tak menjadi penghalang bagi Haksu Tjay Ing untuk menulis, ujar lelaki 56 tahun ini. Karena itulah, kata Oesman, Haksu Tjay Ing sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama Konghucu di Indonesia. Semua haksu yang ada di Indonesia sekarang, tidak ada yang tidak ngangsu kaweruh kepada Haksu Thjie Tjay Ing. Itu jua sebabnya, lewat pengabdian-pengabdian masyarakat pun, banyak yang memberikan apresiasi tinggi terhadap Haksu Tjay Ing. Tak hanya dari Confusian saja, melainkan juga dari pemeluk berbagai agama. Tak heran Haksu Tjay Ing juga dijuluki tokoh lintas agama, jelasnya.

*Kutu Buku yang tidak pernah marah*

Dalam ingatan Purwani, ada dua hal yang begitu lekat dengan sosok Haksu Thjie Tjay Ing. Pertama kutu buku dan kedua tidak pernah marah, ujar murid Thjie Tjay Ing saat duduk di bangku SD ini. Kini Purwani adalah seorang Bunsu di SD dan SMP Tripusaka. Dia menerima kehadiran Espos awal pekan lalu juga di Tempat Ibadah Agama Konghucu Litang di Jl Drs Yap Tjwan Bing 15 alias Jl Jagalan 15 Solo yang juga tempat Haksu Tjay Ing tinggal. Menurut Purwani, Haksu begitu ia biasa memanggil selalu memanfaatkan hampir setiap waktu luangnya untuk membaca, selain juga menerjemahkan buku-buku beraksara dan berbahasa Cina atau Inggris ke bahasa Indonesia. Sekalipun penglihatannya tak lagi setajam kala muda, tetap saja kegilaannya membaca tak berkurang sedikit pun jua. Selain itu, kata Purwani, sejak dirinya mengajar di SD dan SMP Tripusaka mulai tahun 1976, ia tak pernah melihat Haksu marah. Meskipun, lanjutnya, jelas-jelas misalnya, sejumlah pengurus di Majelis Agama Khonghucu Indonesia (Makin) Solo membuat kesalahan. Seperti misalnya melalaikan tugas khotbah ataupun tidak datang saat kegiatan-kegiatan tertentu.

Haksu menanggapinya dengan biasa saja dan tetap semangat meskipun bekerja sendiri, tuturnya. Haksu, menurut Purwani juga sosok yang sangat rendah hati dan nrima. Purwani ingat, sekitar tahun 1977, selain mengampu mata kuliah Agama Konghucu di Universitas Gadjah Mada (UGM), Haksu kadang kala juga mengajar di SMA Tripusaka. Biasanya, saat mengajar di SMA, Haksu selalu berangkat dengan mengendarai sepeda onthel. Suatu ketika, sepulang mengajar ternyata sepeda onthel-nya raib.

Tak banyak mengeluh, Haksu pun berjalan kaki dari sekolah sampai ke rumah. Sesampai di rumah, raut wajah yang ditunjukkannya pun juga biasa saja. Tak ada guratan rasa gela sedikit pun kalau sepedanya hilang, kenangnya. Termasuk, lanjutnya, setiap sepekan sekali hingga 2004 lalu, Haksu juga masih bersedia bolak-balik mengajar di UGM naik bus sejak tahun 1968. Dalam hidup sosial kemasyarakatan, kata Purwani, Haksu juga dikenal merakyat dan tak pernah keberatan dijadikan tempat curahan hati maupun kegalauan warga sekitar. Makanya, puluhan tahun Haksu masih jadi ketua RW.

Sumber :https://tokohsurakarta.wordpress.com/2010/02/22/tj...


BAGIKAN

Whatsapp Facebook Twitter